Menjadi guru adalah panggilan hati sehingga hanya orang-orang yang
berjiwa mulialah yang pantas menyandang predikat sebagai guru. Seorang guru
mengemban tugas yang sangat “berat” yaitu untuk mendidik dan membimbing anak
didiknya supaya memiliki karakter dan kompetensi yang baik nan kuat. Maka
pantaslah memang hanya orang-orang yang sudah memiliki jiwa mulialah yang bisa
menjadi guru sesungguhnya.
Menjadi guru memang tak semudah membalikkan telapak tangan karena
memiliki amanah yang “berat”. Tetapi kita juga harus tetap optimis untuk
menjadi guru yang sesungguhnya di negeri ini. Bagaimana nasib bangsa kita ke
depan kalau tak memiliki guru yang sesungguhnya? Ingat!! Masa depan bangsa kita
ke depan berada “dipundak” anak-anak didik kita. Kita bisa mengerahkan segala
apa yang kita punya untuk memberikan yang terbaik kepada anak didik kita.
Firman Allah dalam QS Surat Ar-Rad ayat 11 yang menyebutkan bahwa“
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Ayat tersebut memberikan
“sinyal” kepada kita bahwa perubahan itu sebenarnya terletak dari diri kita
sendiri. Ketika kita memiliki jiwa yang mulia maka lingkungan disekitar kita
pun akan dipenuhi dengan kemuliaan. Begitupun orang yang hatinya terpanggil untuk menjadi guru maka
harus senantiasa belajar memperbaiki dirinya terlebih dahulu supaya dapat
“tertularkan” kepada anak didiknya. Ketika guru memiliki jiwa yang mulia maka
anak didiknya pun akan memiliki jiwa yang mulia. Anak didik adalah cerminan dari
gurunya.
Ada contoh kasus “menarik” yang terjadi di suatu sekolah. Disekolah
itu ada suatu kelas yang anak didiknya itu sukanya ribut terus. Ketika gurunya
mengajar, anak didiknya tak memperhatikan bahkan membuat kegiatan yang lain
seperti malah ngobrol dengan sesama temannya, berkelahi sama temannya dan
lain-lain. Sontak saja keadaan kelas yang seperti itu membuat guru yang
mengajarnya stres. Tak kuat menahan emosi guru tersebut marah-marah sambil
menggunakan penggarisnya untuk dipukul-pukul ke papan tulis. Setelah itu guru
tersebut pun sampai meninggalkan kelasnya karena tak mau melanjutkan
pembelajaran lagi. Lalu, pantaskah seorang guru melakukan hal tersebut?
Contoh kasus di atas yang dilakukan oleh guru itu tidak akan pernah
dilakukan oleh guru yang berjiwa mulia. Ia tidak akan lari dari tanggung
jawabnya untuk mengajar. Mau belajar bersama siapa lagi anak-anak di kelas
kalau bukan bersama gurunya? Guru yang berjiwa mulia pasti akan memberikan
perhatian terus terhadap kondisi kelas yang seperti itu. Ia akan terus bersabar
dan berikhtiar untuk memperbaikinya. Mungkin dia harus memperbaiki metode
pembelajaran yang ia lakukan sehingga memfasilitasi semua gaya belajar anak
didiknya. Atau mungkin juga guru tersebut perlu memperbaiki manajemen kelasnya.
Guru yang berjiwa mulia adalah guru yang sesungguhnya. Guru tersebut adalah guru yang mengajar dengan
hati bukan berdasarkan materi semata. Hatinya akan selalu terpanggil untuk
memberikan yang terbaik kepada setiap anak didiknya. Setiap proses pembelajaran
akan bermakna untuk anak didiknya jika “dipegang” oleh guru yang berjiwa mulia.
0 comments:
Post a Comment